AKHIR 2015 FBS TAMBAH SATU LAGI DOKTOR

BahasaJerman-FBS. Gender dalam bahasa Jerman berupa nomina. Gender dalam bentuk nomina berasal dari artikel. Artikel ini berkaitan erat dengan nomina yang menjadi pasangannya. Oleh karena itu, artikel tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi satu rangkaian dengan nomina yang dilekatinya. Penanda gender dalam bahasa Jerman dapat dikelompokan menjadi 3 macam,yaitu (1) penanda yang berasal dari morfem, (2) penanda yang berasal dari artikel, dan (3) penanda yang berasal dari nama diri. Bahasa Indonesia tidak memiliki sistem penanda gender. Konsep tersebut berbeda dengan dengan bahasa Indonesia karena di dalam bahasa Indonesia dapat ditemukan bentuk penanda gender, hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh serapan bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa asing yang berpengaruh terhadap penandaan gender ke dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta, bahasa Arab, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris. Tema itulah yang dibahas dan dikupas oleh Drs. Sulis Triyono, M.Pd., dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman, Fakultas Bahasa dan Seni UNY dalam desertasinya yang berjudul “Satuan Lingual Penanda Gender Dalam Bahasa Jerman dan Indonesia”, dan telah dipertahankan dalam ujian terbuka program doktor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM Selasa, 29 Desember 2015.

Selanjutnya dikatakan  bahwa ada persamaan dan perbedaanya anatara bahasa Jerman dengan bahasa Indonesia terkait penanda gender. Persamaan bahasa Jerman dan bahasa Indonesia ditinjau dari bentuk lingual adalah (1) keduanya sama-sama ditandai oleh morfem pada posisi penultima. Morfem tersebut dapat 5 membedakan jenis gender maskulin, feminin, dan netral untuk bahasa Jerman. Dalam bahasa Indonesia, morfem dapat menandai jenis gender maskulin dan feminin dan (2) Keduanya sama-sama memiliki bentuk dasar dan bentuk turunan.

Perbedaan antara bahasa Jerman dan bahasa Indonesia adalah (1) bahasa Jerman memiliki sufiks yang dapat digunakan untuk menandai gender. Penandaan gender tersebut dapat mengarah kepada jenis gender maskulin, feminin, dan netral. Bahasa Indonesia memiliki sufiks yang dapat digunakan untuk menandai gender. Adapun penandaan gender tersebut terbatas pada jenis gender maskulin dan feminin saja dan (2) bahasa Jerman memiliki artikel yang dapat menandai gender maskulin, feminin, dan netral. Bahasa Indonesia tidak memiliki artikel sebagai bentuk penandaan gender; (3) semua nomina bahasa Jerman yang mengalami proses morfologis memiliki penanda gender. Tidak semua nomina dalam bahasa Indonesia yang mengalami proses morfologis memiliki penanda gender; (4) bahasa Jerman memiliki sufiks sebagai penanda gender yang tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia.

Adapun persamaannya adalah (1) bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, masing-masing memiliki penanda gender yang berasal dari proses morfologis sebuah nomina; (2) bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, masing-masing memiliki penanda gender yang mengarah kepada gender maskulin dan feminin.  Dengan demikian dalam bahasa Jerman terdapat tiga jenis gender. Bahasa Indonesia hanya terdapat dua gender saja. Gender netral adalah gender yang tidak memiliki kepastian karena dapat mengarah kepada maskulin atau feminin bergantung dari konteks; (3) bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, masing-masing memiliki nomina yang berasal dari unsur serapan dari bahasa asing. Pada tataran sinktaksis bahasa Jerman dan bahasa Indonesia memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan penanda gender pada tingkat frasa dan kalimat.

Dalam dalam bahasa Jerman terdapat penandaan gender pada frasa dan kalimat. Bahasa Indonesia tidak ditemukan adanya penanda gender pada tingkatan frasa dan kalimat. Dengan demikian, untuk bahasa Jerman dan bahasa Indonesia pada tingkatan frasa dan kalimat tidak ada persamaannya. Pada tataran leksikon antara bahasa Jerman dan bahasa Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan pemarkahan gender.

Persamaannya adalah (1) bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sama-sama memiliki penanda gender pada tataran leksikon; (2) bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sama-sama memiliki gender maskulin, feminin, dan netral; (3) bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sama-sama memiliki konstruksi lesikal yang mengungkap kepada maskulin, feminin, dan netral.

Drs. Sulis Triyono, M.Pd mengakhiri paparannya dengan memberikan kesimpulan bahwa terdapat bentuk lingual penanda gender dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia ditinjau dari berbagai tataran linguistik, seperti morfologi, sintaksis, dan leksikon. Temuan dalam disertasi ini telah sesuai dengan paradigma pertama yang dijadikan sebagai dasar landasan teorinya. Hal ini memiliki beberapa argumentasi, antara lain: (1) bahasa dan masyarakat penutur selalu memiliki hubungan timbal balik, (2) bahasa dan masyarakat saling mempengaruhi satu dengan yang lain, (3) hubungan antara bahasa dengan struktur masyarakat sangat erat, demikian pula sebaliknya dinamika masyarakat mempengaruhi struktur bahasa.(Setyawan,Humas-FBS)